Berbicara mengenai pemuda tentu tidak bisa lepas dari sejarah
perjalanan bangsa ini. Kaum muda, pemuda atau angkatan muda bukan
sekedar kategori biologis semata, tetapi pemuda adalah sebuah fenomena
historis dan juga sosiologis. Masalah kepemudaan telah menjadi bagian
dari proses sejarah bangsa Indonesia. Peran kaum muda dalam mengantarkan
Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, menegakkan dan mempertahankan
kemerdekaan, melahirkan orde pembangunan, membuka pintu orde reformasi.
Dengan kata lain pemuda di dalam pengaturan kehidupan bangsa secara
historis memiliki posisi yang signifikan. Pemuda sebagai pendobrak atau
membuka pintu ke arah pencerahan.
Pemuda sebagai aktor sejarah tidak hanya terbawa oleh keharusan
struktural, namun mereka membuat sebuah ‘pilihan’ dari berbagai
kemungkinan yang terdapat dalam struktur. Sebagai sesuatu kategori
demografis, dengan ukuran tahun tertentu pemuda telah memainkan peran
dimanapun. Dalam proses sejarah perjuangan bangsa pemuda sebagai aktor
sejarah terutama kesadaran akan status kepemudaannya bisa dicatat bahwa
itu mulai tampak di awal abad XX. Sejak masa itu kesadaran tentang
identitas kepemudaan yang memiliki pemikiran tentang sebuah” bangsa yang
baru” terus meninggi. Apabila dicermati gejala sosiologis dalam diri
para pemuda menunjukkan kecenderungan yang kuat dalam menjalin ikatan
solidaritas (Marta, 1984: XXIX).
Awal abad XX telah lahir generasi muda, golongan intelektual terdidik
yang memiliki pandangan luas tentang perlunya meningkatkan kedudukan
dan martabat rakyat. Pada masa pergerakan di awal abad XX para kaum muda
menemukan kesadaran tentang kepemudaannya dan muncul dalam kesadaran
berorganisasi. Dengan berorganisasi, anak muda dengan segala sifat
kepemudaannya menyalurkan ide, bakat, perhatian dan pikiran. Pengalaman
dalam berbagai corak organisasi itu yang kemudian turut menentukan sikap
mereka dalam memasuki aktivitas ‘dunia dewasa’ (Marta, 1984: XXXII).
Kaum muda, itulah yang kemudian mendirikan organisasi modern pertama
dengan nama Budi Utomo, yang berdasarkan hasil rapat kemudian menjadi
ketua organisasi tersebut (Anhar Gonggong, 2008: 17). Corak kegiatan
yang dipilih Budi utomo adalah pembangunan di bidang pendidikan dan
kebudayaan, walaupun pada awalnya program ini hanya ditujukan pada kaum
priyayi saja tidak untuk pribumi pada umumnya. Sutomo yang menjadi ketua
Budi Utomo pada tahun 1908 saat itu baru berusia 20 tahun karena Sutomo
dilahirkan tanggal 30 Juli 1888 di Ngepeh, Nganjuk, Jawa Timur
(Scherer, 2012: 148). Setelah Budi Utomo lahirlah organisasi-organisasi
lain yang membawa cita-cita untuk memperbaiki kehidupan bersama. Dengan
berorganisasi corak kegiatan perlawanan terhadap kolonial tidak lagi
dengan mengangkat senjata namun bertumpu pada kekuatan rasional yang
melalui organisasi, media massa, pendidikan, dan dialog.
Generasi baru itu atau dalam bahasa Robert van Niel (1960) disebut
dengan elit baru (elit terpelajar) berperan dalam menumbuhkan wacana
baru tentang nasionalitas berdasarkan pengalaman mereka terhadap apa
yang dinamakan imperialisme dan kolonialisme. Generasi tersebut adalah
para elit terpelajar yang memiliki cara pandang dan identitas baru
sebagai reaksi atas kondisi yang mereka alami. Bentuk perlawanan
terhadap kolonial itu kemudian melahirkan identitas kebangsaan
Indonesia. Kaum elit pribumi terpelajar tersebut merupakan sumber utama
nasionalisme.
Sampai saat ini dalam sejarah Indonesia dikatakan bahwa kelahiran
organisasi Budi Utomo (20 Mei 1908) dianggap sebagai organisasi modern
pertama yang didirikan bangsa Indonesia. Sejauh ini memang benar, akan
tetapi oraganisasi tersebut masih menitikberatkan usahanya pada kemajuan
bangsa Jawa. Oleh karena itu nasionalisme yang dikembangkan juga dalam
lingkup Jawa.
Organisasi modern yang secara tegas mengusung nasionalisme Indonesia adalah Indische Partij yang
didirikan oleh tiga serangkai Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan
Suwardi Suryaningrat pada tahun 1912. Paham kebangsaan yang diusung
adalah Indische Nationalisme (Nasionalisme Hindia), dan kemudian diganti
dengan nama nasionalisme Indonesia (selengkapnya baca di Hans Van
Miert, 2003; Slamet Muljana, 2008). Indische Partij bersikap tegas dan berusaha mewujudkan kemerdekaan Hindia. Sikap tegas Indische Partij
dan non kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda, maka partai itu
terus diawasi. Bahkan akhirnya partai tersebut dibubarkan dan ketiga
tokohnya dikirim ke Belanda. Masa-masa awal abad XX kemudian diisi dengan berbagai organisasi
modern dengan beragam corak dan tujuan. Nasinalisme yang berkembangpun
beragam, dari yang bersifat kedaerahan (nasionalisme Jawa), nasionalisme
Hindia (Indonesia) bahkan nasionalisme yang beraliran marxis.
Seperti yang telah ditulis di bagian awal bahwa perjuangan-perjuangan
yang dilakukan oleh bangsa Indonesia tidak terlepas dari kaum muda pada
masa pergerakan nasional. Kesepakatan yang terbentuk adalah bahwa
mereka menyebut diri mereka sebagai satu bangsa (baru) dengan nama
Indonesia. Perumusan dan penggunaan nama Indonesia untuk simbol nama
kebangsaan dan tanah air, serta bahasa dilakukan dengan dialog antara
kaum pergerakan nasional. Nama simbol diri Indonesia tersebut telah
dirumuskan dalam Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia (1925). Ikrar
itu kemudian menguat lagi dan diformalkan dalam sebuah kongres kaum
muda. Para kaum muda tersebut kemudian bersatu dalam sebuah acara yakni
kongres pemuda. Kongres pemuda pertama membahas tentang masalah
persatuan sebagai agenda utama. Kongres pemuda yang kedua menghasilkan
sebuah ikrar sumpah pemuda. Dengan ikrar tersebut maka Indonesia telah
menjadi nama diri sebagai salah satu bangsa (baru) di atas bumi, yang
ada bersama bangsa-bangsa lain di dunia ( Anhar Gonggong, 2008: 20).
Sebuah pertanyaan, siapakah pemuda itu? Apakah itu kaum muda yang
berjenis kelamin laki-laki, karena ada pemuda yang merujuk pada kaum
muda laki-laki dan pemudi yakni kaum muda yang merujuk pada jenis
kelamin perempuan, begitu juga dengan putra dan putri. Menurut hemat
saya, kata kaum muda atau generasi muda lebih netral sebab mencakup
laki-laki dan perempuan. Menarik memang bahwa kesadaran nasional tidak
hanya milik kaum muda laki-laki (pemuda). Wajah pergerakan nasional juga
diwarnai dengan kiprah perempuan. Perempuan-perempuan Indonesia juga
turut membangun kesadaran nasional. Para perempuan bergabung dalam
organisasi dan pada tahun 1928 berhasil menggelar kongres pertama di
Yogyakarta.
“Ikut Berjuang untuk mencapai
keselamatan tanah air dimasa datang.
Hanya itulah yang menjadi dasar hidupmu dan kelanjutan umurmu”.
(Mohammad Hatta, “Fajar Menjingsing”, 1944)
Apabila merujuk pada pidato Mohammad Hatta di lapangan Ikada 9
September 1944, mereka yang disebut generasi muda adalah sebagai
“pahlawan dalam hatiku” ( Bambang Purwanto, 2012, makalah diseminarkan
di UNY Yogyakarta). Pada masa itu telah semakin meruncing wacana tentang
“Indonesia merdeka kelak di kemudian hari”. Dan bahkan Mohammad Hatta
telah melontarkan pernyataannya sejak awal masuknya Jepang di Indonesia,
yakni “bagi pemuda Indonesia, ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam
ke dasar lautan dari pada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali”.
Merujuk padakata-kata Mohammad Hatta, maka para pemuda pada masa itu
adalah orang-orang yang sadar betul dengan kekiniannya. Mereka
menempatkan kesadaran akan kebangsaan dan kerakyatan dalam setiap
langkahnya.
Tonggak sejarah masa berikutnya yang dipelopori kaum muda yakni masa
masa menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Peristiwa Rengasdengklok menjadi
bukti keberanian kaum muda. Penculikan Sukarno oleh golongan kaum muda
(Sukarni, Sayuti Melik, Chaerul Saleh) agar Sukarno memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia mampu mengubah tatanan politik yang berkecamuk
pada masa tersebut. Hasil dari perjuangan tersebut adalah
dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno – Hatta,
pada tanggal 17 Agustus 1945.
Masa-masa tersebut perjuangan kaum muda menghadapi tantangan baik
dari pihak internal maupun eksternal. Musuh internal karena sifat
majemuk yang terdiri dari banyak suku bangsa dengan adat istiadat yang
berbeda dan sejarah yang berbeda. Dengan sifatnya yang majemuk tentu
memerlukan strategi dan pendekatan yang cerdas untuk membangun kesadaran
berbangsa. Identitas kebangsaan Indonesia merupakan kesepakatan dari
banyak suku bangsa yang ada di dalamnya. Dengan kata lain faktor
kebangsaan Indonesia bersifat historis oleh karena yang mempersatukan
bangsa Indonesia adalah sejarah yang dialami bersama, yakni akibat
faktor luar, berupa penderitaan akibat penjajahan, penindasan,
perjuangan kemerdekaan, dan tekad untuk kehidupan bersama. Faktor
eksternal tentu saja dari pemerintah kolonial Belanda. Secara teoritis pencarian identitas nasional yang dialami bangsa
Indonesia sejak awal abad XX dapat dipandang sebagai upaya
mentranformasikan bentuk nasionalisme dari bentuk nasionalisme kultural
(cultural nationalism) ke dalam nasionalisme politik (political
nationalism) (Haris, 2011:47).
sumber: klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar